Apa Harus Cantik?

Yana kembali ke kelas setelah dia makan di kantin. Dia melihat anak-anak lainnya sedang asik mengobrol. Sepintas, Yana juga mendengar obrolan mereka.

"Lihat, dia emang cantik kan? Medsosnya aja followers-nya banyak." Ujar salah satu anak.

"Dia terkenal karena apa?" Tanya salah satu di antara mereka. 

"Karena cantik dan kayaaa." Jawab lagi si anak yang selalu memuji sejak pertama.

Anak lain yang bertanya memasang wajah heran, lalu dia berkata, "Tapi aku pernah lihat kalau perilaku dia enggak baik. Gimana bisa dia terkenal begini?"

"Apa orang-orang peduli kalau dia enggak baik? Yang dilihat kecantikannya." Sahut lainnya.

Sepintas obrolan yang terdengar oleh telinga Yana. Sekumpulan murid perempuan yang sedang membicarakan salah satu anak di angkatan mereka. Bahkan, di kantin tadi juga membicarakan hal yang sama.

Yana duduk di bangkunya, kemudian mengambil hape di saku. Dia penasaran dengan murid yang sedang viral itu. Mulailah dia membuka sosial media dan mencari info.

"Oh, anak ini. Benar ya followers-nya banyak. Eh, tapi aku pernah ketemu dia di..." Yana mengehentikan ucapannya untuk mengingat pertemuan dia.

"Pulang sekolah, anak ini menyenggol bahuku. Dia tidak minta maaf, tapi malah memandangku dengan tatapan mata yang sinis." Lanjut Yana.

"Apa waktu itu dia lagi badmood?" Tanya Yana, dia hanya mengira-ngira saja.

Di tengah Yana berpikir tentang murid yang sedang viral ini, dia melihat teman sebangkunya datang dengan wajah yang lesu dan cemberut. Sontak saja Yana menegur Santi agar dia tersenyum.

"Santi, senyum dong. Datang-datang malah masang muka begitu."

Akan tetapi, Santi tidak menanggapi dengan satu patah katapun. Yana menjadi tidak enak hati karena seperti memaksa teman sebangkunya untuk tersenyum.

"Kamu kenapa?" Tanya Yana dengan pelan.

"Aku kenapa-kenapa. Dunia ini tidak adil ya Yan?"

"Hah? Maksudnya?" Yana terkejut, tiba-tiba saja Santi berkata seperti itu.

"Orang yang pernah jahat ke aku justru jadi orang yang dikenal. Semudah itu ya untuk mengubah kesalahan jadi kebenaran karena fisik seseorang?"

"Maksud kamu, anak yang lagi banyak dibicarakan ini ya?" 

"Iya, dia pernah bully aku. Orang-orang lainnya gak bela aku walau aku benar. Apa karena dulu aku gak punya teman dan gak menguntungkan? Apa karena wajahku juga biasa-biasa saja? Apa karena aku dulu juga gak pintar?"

"Santi, kenapa bicara kayak gitu. Udah, kamu gak perlu lihat medsos yang membahas tentang dia. Luka hati kamu bisa sakit lagi karena lihat dia muncul terus. Ingat ya, gak semua orang di dunia ini melihat kecantikan aja."

"Tapi emang gitu kan?" Sahut Santi, matanya mulai berkaca-kaca.

"Gak! Kata siapa? Kata orang-orang yang menilai hanya sesaat itu kan? Emang mereka tahu apa? Mereka aja salah menilai, masa kamu nelan mentah-mentah ucapan mereka!?"

Santi hanya diam, dia menunduk. Yana hanya berharap Santi tidak merasa minder karena ucapan orang-orang lain yang tidak penting.

"Santi, aku berteman sama kamu karena sifat kamu yang baik. Sifat baik kamu buat aku senang dan nyaman jadi temanmu. Apa pernah aku ngajukan syarat kalau untuk menjadi temanku haruslah seleb medsos? Apa juga pernah aku mengajukan syarat untuk menjadi temanku harus pernah juara olimpiade? Gak pernah kan!?"

"Tidak," jawab Santi, lirih.

"Diri kamu itu berharga, dengan atau tanpa pengakuan dari orang lain. Kamu manusia yang punya karakter tersendiri. Kamu punya kelebihan, kamu pandai melukis, kamu bisa membuat cerita, kamu juga ramah dan gak jahat ke orang lain. Tapi jangan lagi kamu meremehkan diri kamu sendiri."

Santi masih menunduk mendengar ucapan Yana, "Kamu benar, aku terlalu kasar ke diriku sendiri ya?"

"Tapi kamu memang lagi marah juga. Kalau aku jadi kamu, aku juga gak suka kalau orang yang pernah nyakitin aku dikenal sama orang-orang. Apalagi sebenarnya memang dia sama sekali gak baik. Perlu diingat, Tuhan gak tidur, ada balasan untuk semua perbuatan."

"Iya, makasih ya." 

Santi terlihat masih sedih. Hal itu membuat Yana juga ikut merasa sedih. Yana juga sempat berpikir, perilaku baik tidak lebih berharga daripada memiliki wajah yang cantik. Tapi dia tahu, pemikirannya salah. 

Yana tipe anak yang melihat orang lain dari cara orang itu memperlakukan orang lain. Bukan karena fisik orang itu sempurna atau karena dia punya segalanya. 

"Perilaku yang baik memancarkan kecantikan yang sejati." Tambah Yana.

Komentar

Postingan Populer