Orang Asing
Seperti hari-hari sebelumnya, aku pergi ke halte bus. Menunggu bus tujuanku datang dan aku bisa berangkat kerja.
Saat aku berjalan ke sana, aku sering menyapa orang-orang yang melihat ke arahku. Mereka tersenyum, akupun membalas dengan senyuman pula. Tanpa ragu kami menyapa dan mengucapkan selamat pagi. Padahal belum tentu saling kenal.
Kadang, aku bertemu anak-anak sekolah yang mengajakku bicara. Mereka bercerita tentang hari-hari sekolah mereka, guru mereka, mata pelajaran mereka, dan kawan-kawan yang mereka punya.
Mereka menjelaskan dengan nada yang lucu, tapi aku tahu perasaan mereka itu serius. Ketika itu aku harus menjadi seorang kakak yang dituakan dan bijaksana. Padahal mungkin, aku bisa saja lebih kekanakan dari mereka.
Terkadang pula, bertemu ibu-ibu yang menyapa dengan memujiku, "Anak cantik, Mbak Cantik." Secara tak langsung membuat aku terkejut, tapi aku tersenyum menghargai. Karena cantik itu relatif kan?
Hari ini, di jalan yang sama bertemu lagi dengan orang asing. Lagi dan lagi aku merasa orang ini orang baik, ramah, tapi agak misterius. Mungkin karena memiliki tatapan mata yang tajam.
Ia seorang wanita dewasa, berambut hitam pendek, memakai setelan jas, dan tas hitam.
"Selamat pagi, apa kamu mau pergi ke Jalan Kenanga?"
"Iya, tapi kita perlu menunggu Bus dulu di halte itu."
"Baik, aku mengikuti kamu saja Nona."
"Oh, iya."
Untungnya, kami berdua masih mendapat tempat duduk di halte. Sehingga tidak perlu lelah berdiri di pagi ini.
Wanita itu masih mengajakku ngobrol, aku pun tak ragu untuk menjawab berbagai pertanyaannya. Tak lama bus datang, kami masuk mencari tempat duduk.
Dia paham jika aku suka duduk di dekat jendela, sehingga mempersilakan aku. Kami pun memulai pembicaraan lagi. Aku juga teringat jika aku belum tahu namanya.
"Sebelumnya, nama Nona siapa?"
"Panggil saja aku Sintya, Karin."
Dia sudah tak memanggilku Nona lagi, tapi langsung namanku yaitu Karin. Kini aku juga memanggilnya dengan namanya, tapi masih tetap dengan sebutan "Nona", aku merasa dia lebih tua dariku.
"Kamu orang yang baik, Karin. Semoga kebaikanmu tidak mudah dimanfaatkan orang buruk ya, baik saat ini dan nanti."
"Apa karena aku telah cerita tentang masa laluku? Sehingga Nona Sintya berkata begitu." Ucapku,
"Masa lalu saya, hampir mirip seperti masa lalu kamu. Masih terlalu muda sudah bertemu berbagai orang yang memberi keburukan. Saya sekarang, sangat berbeda dengan yang dulu karena hal itu. Hanya orang yang mengalami saja yang bisa paham. Yang belum biarkan saja belajar dengan kehidupannya sendiri." Jawaban panjang darinya, seperti ya ia sedang mengingat masa lalunya. Mata tajam yang berbinar, sedikit berubah menjadi sendu.
"Aku tahu maksud Nona Sintya."
"Kamu tahu istilah musuh dalam selimut? Tidak peduli sedekat apa, pernah sepeduli apa, dan seberapa lama kenal. Tidak semua teman-teman kamu itu benar-benar teman. Orang yang punya kebencian tidak bisa kita duga. Orang yang tidak ragu menyalahkanmu, membuat kamu merasa buruk, dan ternyata dia juga menyebar kejelekan palsu tentang kamu. Maaf Karin, saya hanya berkata apa yang pernah saya alami saja. Bukan maksud menggurui atau menakuti karena usia saya enam tahun lebih tua dari kamu. Kita perlu hati-hati saja."
"Memang orang seperti itu ada. Namun saya masih bisa ramah setelahnya. Tapi saya tidak lupa sikap mereka dulu. Lagipula, zaman sekarang siapa yang bisa dipercaya."
"Sikap kita berubah, pasti ada alasannya. Sayangnya mereka cenderung menyalahkan orang yang mereka lukai, daripada introspeksi dengan apa yang mereka lakukan." Tambah Nona Sintya.
Aku tidak tahu, wanita cantik ini ternyata pernah merasa sangat kecewa. Ketika ia sudah bercerita padaku, artinya aku memang dia percaya. Jujur saja, kalimat yang dia ucapkan pernah terjadi padaku.
Kami lanjut bercerita dengan sedikit bercanda. Hingga akhirnya bus berhenti di halte dekat Jalan Kenanga. Deretan perkantoran dari brand-brand terkenal. Aku dan Nona Sintya turun bersamaan.
Kami berjalan, lalu memasuki kantor tempat bekerja. Tak lama, karyawan senior datang dan menyambut kami berdua. Dia memanggil Nona Sintya dengan sebutan manager baru. Muncul pertanyaan lagi di benakku, apa dia sudah tahu aku sebelumnya? Sehingga dijalan yang ramai dia langsung memanggilku dan banyak bercerita padaku.
Komentar
Posting Komentar