Resume "Model-Model Penelitian Agama Sebagai Doktrin & Produksi Budaya"
TUGAS AKHIR MEMBUAT RINGKASAN ILMIAH (RESUME)
Prodi : Psikologi Islam
Fakultas : Ushuluddin dan Dakwah
Kampus : IAIN Kediri
Mata Kuliah: Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu: Dr. Muhammad Arif, M.A.
Kelas : Psikologi Islam 3-A
Kelompok 6:
1. Ega Ardiana / 22104003
2. Ainus Sa'adah / 22104004
3. Risma Oky Nastiti / 22104005
Ringkasan Ilmiah dari Buku Studi Islam dalam Dinamika Global
Penulis : Dr. Mohammad Arif, M.A.
Bagian : BAB 6, Model-Model Penelitian Agama Sebagai Doktrin & Produksi
Budaya (Halaman: 117-151)
1.1. PENDAHULUAN
Agama, sebagai salah satu bentuk sistem religi, merupakan salah satu unsur kebudayaan, di samping organisasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan teknologi. Kebudayaan akan menopang kelangsungan hidup masyarakatnya. Dengan demikian, agama sebenarnya berarti juga sistem nilai budaya yang mempengaruhi konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap bernilai dalam hidup. Sistem nilai budaya tersebut berfungsi sebagai pedoman hidup. Dan salah satu fungsi dari sistem nilai budaya tersebut adalah mengatur hubungan hakikat manusia dengan sesamanya. Budaya dan agama adalah sesuatu yang berbeda namun dapat saling mempengaruhi sehingga muncul kebudayaan baru atau pencampuran kebudayaan. Pendapat Endang Saifudin Anshari yang mengatakan dalam tulisannya bahwa agama dan kebudayaan tidak saling mencakup, pada prinsipnya yang satu tidak merupakan bagian dari yang lainnya dan masing-masing terdiri sendiri. Antara keduanya tentu saja saling berhubungan dengan erat seperti kita yang kita lihat dalam kehidupan dan penghidupan manusia sehari-hari.
Penelitian agama sudah dilakukan beberapa abad yang lalu, dengan hasil penelitiannya masih dalam bentuk aktual atau perbuatan saja belum dijadikan sebagai ilmu. Orang berkata: kenapa agama yang sudah begitu mapan mau diteliti, karena Agama adalah Wahyu. Sikap serupa juga terjadi di Barat, orang Eropa menolak adanya kemungkinan meneliti agama. Sebab, antara ilmu dan agama (kepercayaan), tidak bisa disinkronkan. Namun, setelah bertambahnya gejala-gejala agama yang berbentuk sosial dan budaya, ternyata penelitian agama dapat dijadikan sebagai ilmu khusus dalam rangka menyelidiki gejala-gejala agama tersebut.
Di kalangan akademisi dan aktivis sosial, agama bukan hanya dipandang sebagai seperangkat ajaran, dogma, maupun segala hal yang bersifat normatif, namun juga dilihat sebagai suatu studi kasus yang melihat agama sebagai objek kajian untuk diteliti sehingga para ilmuwan menganggap bahwa agama juga merupakan objek kajian atau penelitian karena agama merupakan bagian dari kehidupan sosial kultural, yang mana penelitian agama bukan fokus untuk meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan memperoleh pengaruh dari agama.
1.2. RINGKASAN ILMIAH (RESUME)
A. Pengertian Doktrin
Kata Doktrin berasal dari bahasa inggris, doctrine yang berarti ajaran. Oleh karena itu doktrin lebih dikenal dengan ajaran-ajaran yang bersifat absolute yang tidak boleh diganggu gugat. Dalam Kamus Ilmiah Populer, kata doktrin berarti dalil-dalil dari suatu ajaran. Dari Penjelasan yang telah diuraikan bahwa doktrin adalah ajaran-ajaran atau pendirian suatu agama atau aliran atau segolongan ahli yang tersusun dalam sebuah sistem yang tidak bisa terpisahkan antara yang satu dengan yang lain. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doktrinal yang berarti yang dikenal dengan ajaran atau bersifat ajaran.
B. Agama sebagai Doktrin
Terdapat kata doctrinaire yang berarti yang bersifat teoritis yang tidak praktis. Contoh dalam hal ini misalnya doctrainare ideas ini berarti gagasan yang tidak praktis. Studi doktrinal ini berarti studi yang berkenaan dengan ajaran atau studi tentang sesuatu yang bersifat teoritis dalam arti tidak praktis. Mengapa tidak praktis? Jawabannya adalah karena ajaran itu belum menjadi sesuatu bagi seseorang yang dijadikan dasar dalam berbuat atau mengerjakan sesuatu.
Uraian ini berkenaan dengan Islam sebagai sasaran atau obyek studi doctrinal tersebut. Ini berarti dalam studi doctrinal yang dimaksud adalah studi tentang ajaran Islam atau studi Islam dari sisi teori-teori yang dikemukakan oleh Islam. Islam di definisikan oleh sebagian ulama sebagai berikut:
الإسلام وحي إلهي أنزل إلى نبي محمد صلى الله عليه وسلم لسعادة الدنيا والأخرة
“al-Islamu wahyun ilahiyun unzila ila nabiyyi Muhammadin Shalallahu`alaihi wasallam lisa`adati al-dunya waal-akhirah”
(Islam adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat)
Berdasarkan pada definisi Islam sebagaimana dikemukakan di atas, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud di atas adalah al-Qur’an dan al-Sunnah. Al-Qur’an yang sekarang dalam bentuk mushaf yang terdiri tiga puluh juz, mulai dari surah al-Fatihah dan berakhir dengan surah an-Nas, yang jumlahnya 114 surah. Sedangkan al-Sunnah telah terkodifikasi sejak tahun tiga ratus hijrah. Sekarang ini kalau kita ingin melihat al-Sunnah atau al-Haditst, kita dapat lihat di berbagai kitab haditst. Misalnya kitab haditst Muslim yang disusun oleh Imam Muslim, kitab haditst Shaleh Bukhari yang ditulis Imam al-Bukhari, dan lain-lain.
Dari kedua sumber itulah, al-Qur’an dan al-Sunnah, ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai dua sumber, sebagaimana disebut diatas, ternyata dalam realitasnya, ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan tersebut dalam bentuk ijtihad. Dengan ijtihad ini, maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci, banyak yang diajarkan secara garis besar atau global. Masalah-masalah yang berkembang kemudian yang tidak secara terang disebut di dalam dua sumber itu didapatkan dengan cara ijtihad.
Studi Islam dari sisi doctrinal itu kemudian menjadi sangat luas, yaitu studi tentang ajaran Islam baik yang ada di dalam al-Qur’an maupun yang ada di dalam al-Sunnah serta ada yang menjadi penjelasan kedua sumber tersebut dengan melalui ijtihad. Jadi sasaran studi Islam doctrinal ini sangat luas. Persoalannya adalah apa yang kemudian dipelajari dari sumber ajaran Islam itu.
Agama sebagai doktrin untuk penelitian agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin. Agama sebagai teologi, tidak terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan antara manusia dengan Tuhan (Transendental) saja, tetapi tidak terelakan adalah melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologi), pemenuhan kebutuhan untuk membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi).
Apabila kita memandang agama sebagai doktrin yang sacral, suci dan tabu, maka tertutup untuk kajian-kajian atau penelitian. Tetapi, apabila kajian-kajian diarahkan pada elemen elemen agama, maka terbuka pintu untuk melakukan penelitian dan bahkan metodologi penelitian sudah pernah dirintis, yaitu ilmu ushul fiqh sebagai metode untuk mengistimbatkan hukum dalam agama Islam, dan ilmu musthalah hadits sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan sebab-sebab Nabi (hadits), merupakan bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian.
Masalah keagamaan, merupakan masalah yang selalu hadir dalam sejarah kehidupan manusia sepanjang zaman dan sama dengan masalah kehidupan lainnya. Sedangkan ilmu pengetahuan, yaitu ilmu pengetahuan sosial dengan caranya masing-masing, atau metode, teknik dan peralatannya, dapat mengamati secara cermat perilaku manusia itu, hingga menemukan segala unsur yang menjadi komponen terjadinya perilaku tersebut. Ilmu sejarah mengamati proses terjadinya perilaku itu, ilmu sosiologi menyoroti dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu, sedangkan ilmu antropologi memperhatikan terbentuknya pola-pola perilaku tersebut dalam tatanan nilai (value) yang dianut dalam kehidupan manusia.
Apabila, kita mencoba menggambarkannya dalam pendekatan sejarah, sosiologi, dan antropologi secara sintetik, maka fenomena keagamaan itu berakumulasi pada “pola perilaku manusia” didekati dengan menggunakan ketiga model pendekatan sesuai dengan posisi perilaku itu dalam konteksnya masing-masing. Uraian di atas, membatasi diri pada upaya menemukan metode yang tepat bagi penelitian dalam studi Islam. Karena itu, tekanan utama dititikberatkan pada segi-segi metodologi studi Islam, yaitu aspek-aspek ajaran Islam yang dapat didekati secara ilmiah yang relevan dan perkembangan pengkajian Islam di masa depan.
1. Iman Kepada Allah
Imam Ibnu Hibban dan al – Hakim meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri dari Rasulullah Saw bahwa beliau bersabda:
Musa berkata: “Wahai Tuhanku, ajarkanlah kepadaku sesuatu yang dapat kupergunakan untuk memuji dan menyebut-Mu.” Allah menjawab: “Wahai Musa, ucapkanlah laa ilaaha illa Allah! “Musa berkata: “Wahai Tuhanku, semua hamba-Mu telah mengucapkannya.” Tuhan berkata: “Tidak apa-apa. Sekiranya tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi beserta isinya, selain Aku, diletakkan pada satu sisi timbangan dan pada sisi timbangan lainnya diletakkan kalimat laa ilaaha illa Allah, niscahya timbangan yang berisi kalimat laa ilaaha illa Allah akan lebih berat dari sisi timbangan yang satunya lagi.”
Kalimat laa illaha illa Allah atau biasa disebut kalimat thayyibah adalah suatu pernyataan pengakuan tentang keberadaan Allah Yang Maha Esa: Tiada Tuhan selain Dia. Ia merupakan bagian dari lafad syahadatain yang harus diucapkan oleh seseorang yang akan masuk dan memeluk agama Islam. Bentuk pernyataan pengakuan terhadap Allah berimplikasi pada pengakuan-pengakuan lainnya yang berhubungan dengan-Nya, seperti zat Allah, sifat-sifat Allah, kehendak Allah, perbuatan (af’al Allah), malaikat Allah, para nabi dan utusan Allah, hari Kiamat, serta surga dan neraka. Ia merupakan refleksi dan tauhid Allah yang menjadi inti ajaran Islam. Oleh karena itu, ia yang merupakan kalimat yang terdapat dalam haditst qudsi sangat sarat nilai. Pengakuan terhadap keberadaan Allah berarti menolak keberadaan tuhan-tuhan lainnya yang dianut oleh para pengikut agama selain Islam
2. Kemustahilan Menemukan Zat Allah
Allah adalah Maha Esa, baik dalam zat, sifat maupun perbuatan. Esa dalam dzat artinya Allah itu tidak tersusun dari beberapa bagian yang terpotong-potong dan Dia pun tidak mempunyai sekutu. Esa dalam sifat berarti bahwa tak seorang pun memiliki sifat-sifat seperti yang dimiliki oleh Allah. Dan Esa dalam perbuatan (af’al) ialah bahwa tidak ada seorangpun yang mampu mengerjakan sesuatu yang menyerupai perbuatan Allah.
Allah dengan sifat rahman dan rahim-Nya, telah membekali manusia dengan akal dan pikiran untuk digunakan dalam menjalankan kehidupannya. Akal pikiran itu merupakan keistimewaan manusia, sekaligus faktor pembeda antara manusia dan makhluk lainnya. Manusia dapat mencapai taraf kehidupan yang mulia melalui akal pikirannya; sebaliknya, manusia pun dapat terpuruk ke kehidupan yang hina melalui akal pikirannya. Akal, sekalipun telah dipergunakan dengan sungguh-sungguh, keberadaannya tetap dalam ruang lingkup yang terbatas. Artinya, ada sejumlah persoalan yang tidak dapat diselesaikan oleh akal. Salah satu persoalan yang tidak bisa diselesaikan oleh akal ialah zat Allah. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman,
لا تُدْرِكُهُ الْاَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْاَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
“Allah tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dia-lah Yang Maha halus lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al-An’am [6]: 103)
3. Argumen Keberadaan Allah
Terdapat tiga teori yang menjelaskan tentang kejadian alam semesta yang mendukung keberadaan Tuhan. Pertama, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini ada dari yang tidak ada (creation ex-nihilo). Ia terjadi dengan sendirinya. Kedua, paham yang mengatakan bahwa alam semesta ini berasal dari sel (jauhar) yang merupakan inti. Ketiga, paham yang mengatakan bahwa alam semesta itu ada yang menciptakan. (Sayid Syabiq, 1974:61)
Teori pertama dapat ditolak dengan teori sebab-akibat (causality theory). Menurut teori kausalitas, adanya sesuatu itu disebabkan adanya sesuatu yang lain. Maka, alam semesta tidak terjadi dengan sendirinya melainkan dengan melalui proses penciptaan.
Teori yang kedua mengatakan bahwa alam semesta berasal dari sel, Sayid Syabiq (1974: 63) melihatnya sebagai teori yang lebih sesat daripada teori yang pertama. Sel tidak mungkin bisa menyusun dan memperindah sesuatu seperti yang terjadi pada struktur alam semesta. Contoh : aspek gender dan tata surya.
Alam semesta ini adalah teologis, artinya diatur menurut tujuan-tujuan tertentu. Alam dalam pandangan telologis tersusun dari bagian-bagian yang satu sama lain mempunyai hubungan yang erat. Tujuan tertentu itu ialah kebaikan alam secara totalitas. Dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang menjelaskan bahwa Tuhan itu benar-benar ada. Sebagai contoh telah dikemukakan ayat-ayat yang mendukung pernyataan tersebut.
اَللّٰهُ خَالِقُ كُلِّ شَىءٍ وَّ هُوَ عَلٰى كُلِّ شَىءٍ وَّكِيلٌ (٦٢ )
لَّه مَقَالِيدُ السَّمٰوٰتِ وَالاَر
ضِ وَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِاٰيٰتِ اللّٰهِ اُولٰٮكَ هُمُ الخٰسِرُونَ ( ٦٣ )
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu. Kepunyaan-Nya-lah (perbendaharaan) langit dan bumi. Dan orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Q.S. al-Zumar [39]: 62-63).
هوَ اللّٰهُ الَّذِيْ لَا اِلٰهَ اِلَّا هُوَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمٰنُ الرَّحِيْمُ
Dialah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang maha mengetahui yang gaib dan nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Hasyr [59]: 22).
Iman kepada Allah adalah doktrin utama dalam Islam yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Ia adalah dimensi ta'abbudi yang terkait dengan petunjuk dan pertolongan Allah atas hamba-Nya. Tanpa hidayah dari Allah, akan sulit bagi siapapun untuk dapat mempercayai-Nya. Keyakinan atau pengakuan merupakan gerbang pertama keimanan. Ia merupakan bentuk pengakuan yang sungguh-sungguh tentang kebenaran adanya Allah Yang Maha Esa. Keyakinan ini, selanjutnya suatu pernyataan lisan dalam bentuk melafalkan dua kalimat syahadat: “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
4. Iman Kepada Malaikat, Kitab Dan Rasul
a. Malaikat Allah
Malaikat terkadang disebut al-mala’ al-a’la (kelompok tertinggi) adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dari al-nur (cahaya), riwayat Imam Muslim yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan malaikat dari cahaya, jin dari nyala api, dan Adam dari tanah. Malaikat termasuk makhluk rohani yang bersifat gaib. Mereka tidak bisa dilihat, dicium, diraba, dan dirasakan karena mereka berada di alam yang berbeda dengan alam manusia. Mereka juga disucikan dari syahwat kebinatangan (al-nafs al-hayawaniyah) yang terhindar dari keinginan hawa nafsu yang bersifat materiil.
b. Kitab-kitab Allah
Ayat-ayat Allah SWT. yang merupakan ajaran-ajaran dan tuntunan itu dapat dibedakan menjadi dua: pertama, ayat-ayat yang tertulis di dalam kitab-kitab-Nya; dan kedua, ayat-ayat yang tidak tertulis, yaitu alam semesta.
Ayat-ayat yang tertulis diformulasikan dalam empat kitab: Al-Qur’an, Injil, Taurat, dan Zabur yang masing-masing diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi Isa a.s, Nabi Musa a.s., dan Nabi Dawud a.s. Keempat kitab itu disebut kitab-kitab langit (al-kutub al-samawiyah), karena kitab-kitab itu diyakini umat Islam sebagai firman Allah yang diwahyukan kepada para nabi dan rasul. Islam mengajarkan bahwa mempercayai dan mengimani semua kitab-kitab Allah itu adalah wajib. Ia merupakan konsekuensi logis dari pembenaran terhadap adanya Allah.
c. Rasul-Rasul Allah
Doktrin Islam mengajarkan agar setiap orang Islam beriman kepada semua rasul yang diutus oleh Allah SWT tanpa membedakan antara satu rasul dengan rasul lainnya. Rasul artinya utusan Allah untuk menyampaikan berita rahasia, tanda-tanda yang akan datang, dan misi risalah. Secara terminology rasul diutus Allah untuk menyampaikan wahyu kepada umat Islam.
Menurut para ulama terbagi dua kelompok. Ada yang menyamakan antara nabi dan rasul dan adapula yang membedakan nabi dan rasul. Persamaannya adalah sama-sama menerima wahyu yang harus disampaikan kepada umatnya. Perbedaannya adalah hanya rasul yang mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu kepada umatnya, sedangkan nabi tidak dibebani kewajiban itu.
Rasul adalah manusia biasa yang dipilih oleh Allah dari keturunan yang mulia yang diberi berbagai keistimewaan, baik secara akal pikiran maupun kesucian rohani. Para rasul dibekali dengan berbagai bekal keutamaan seperti kitab, mukjizat, dan sifat-sifat kemuliaan. Adapun sifat-sifat yang diberikan Allah kepada rasul yaitu:
• Shidiq, artinya jujur dan benar serta terhindar dari sifat dusta (al-kidzb) atau bohong.
• Amanah, artinya dapat dipercaya dan terhindar dari sifat khianat.
• Tabligh, menyampaikan dan terhindar dari sifat al-kitmanatau menyembunyikan sesuatu.
• Fathanah, bijaksana dan brilian serta terhindar dari sifat al-jahl atau bodoh.
• Ma’sum, artinya senantiasa mendapatkan bimbingan dari Allah sehingga apabila melakukan kekeliruan, langsung mendapat teguran dan koreksi dari Allah.
d. Alam Gaib
Manusia tersusun dari dua unsur: tubuh kasar dan ruh. Ruh adalah urusan Allah yang termasuk gaib. Ketika manusia mati, ruh tidak ikut mati tetapi kembali kealam arwah. Kematian merupakan pintu bagi manusia untuk memasuki alam kedua, alam kubur atau biasa disebut alam barzakh. Alam barzakh adalah ditimbangannya amal kebaikan dan amal keburukan selama di dunia.
Dalam doktrin keimanan ini, kita menemukan beberapa doktrin lain yang dinyatakan dalam Al-Qur’an: Allah itu Esa dan tidak ada sekutu bagi-Nya, dan segala makhluk mengabdi dan meminta pertolongan. Oleh karena itu, doktrin Islam menyatakan bahwa Allah adalah Pencipta, pemelihara, penguasa, dan pemberi rezeki kepada hamba-Nya
C. Pengertian Agama dan Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi dan lahir dari hasil pemikiran dari manusia. Sehingga bisa dikatakan semua yang lahir dari pemikiran manusia disebut budaya. Contoh: teknologi, adat istiadat, dan model pakaian. Sedangkan kebudayaan menurut Selo Sumardjan dan Soelaiman Soemardi adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta, agama yang berarti “tradisi”. Kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya dengan bereligi atau seseorang mengikat dirinya pada Tuhan.Jadi, agama adalah sistem kepercayaan manusia yang berhubungan dengan Tuhan.
Budaya dan agama adalah sesuatu yang berbeda namun dapat saling mempengaruhi sehingga muncul kebudayaan baru atau percampuran kebudayaan. Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi pengamalan sebuah agama yang bersangkutan. Dan sebaliknya, sebuah kebudayaan akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana kebudayaan itu berkembang. Oleh karena itu agama bukan saja menjadi masalah individu tetapi agama juga merupakan sebuah urusan sosial yang pada akhirnya orang yang beragama tidak hanya sekedar mampu melahirkan kesalehan individual tetapi juga harus mampu melahirkan kesalehan sosial.
D. Agama Sebagai Produk Budaya
Pada mulanya ilmu hanya ada dua, yaitu ilmu kealaman (seperti: fisika, kimia, biologi, dan ilmu lainnya yang bertujuan untuk mencari hukum-hukum atau keteraturan alam) dan ilmu budaya. Segala penemuan mengenai suatu gejala atau sifat alam dapat di tes kembali pada waktu dan oleh peneliti lain, dengan memerhatikan gejala eksak, yaitu mencari keberulangan dari segala gejala yang kemudian diangkat menjadi teori dan hukum. Sebaliknya, ilmu budaya bersifat tidak berulang, namun unik.
Agama merupakan sebuah kenyataan, yang mana memiliki berbagai aspek perwujudan. Cara-cara pendekatan dalam mempelajari agama ini terbagi menjadi dua golongan, yaitu model studi ilmu sosial dan model studi budaya. Untuk memahami suatu agama diperlukan dua model, yaitu secara tekstual dan kontekstual.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang berisi berbagai perangkat model pengetahuan, di mana secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi, serta mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukan.
Agama bukan merupakan bagian dari kebudayaan, begitu pula sebaliknya. Namun di antara keduanya bisa saling berhubungan erat, misal, salat adalah unsur agama, selain berfungsi untuk melestarikan hubungan manusia dengan Tuhan, ia juga dapat melestarikan hubungan manusia dengan manusia, serta menjadi pendorong dan penggerak bagi terciptanya kebudayaan. Untuk tempat salatnya, masyarakat membangun masjid dengan gaya arsitektur yang megah dan indah, membuat sajadah sebagai alas untuk bersujud dengan berbagai desain, membuat tutup kepala, pakaian, dan sebagainya. Hal inilah yang menjadi aspek kebudayaan. Kemudian dalam hal nikah, talak, waris, maupun rujuk yang dipandang sebagai kebudayaan, yang mana mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, namun ketentuan di dalamnya berasal dari Tuhan (hubungan manusia dengan Tuhan).
E. Islam Sebagai Produk Budaya
Islam sebagai agama yang memiliki konsep atau ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, di mana dapat menyelamatkan umat manusia dan alam semesta dari kehancuran. Maka dari itu, Islam harus bisa menawarkan nilai, norma, dan aturan hidup yang bersifat manusiawi dan universal sehingga diharapkan mampu memberikan alternatif pemecahan terhadap problematik umat manusia pada era global ini. Ajaran Islam telah tumbuh dan berkembang sejalan dengan pemikiran manusia dan sosial budayanya untuk mewujudkan suatu sosial budaya dan masyarakat yang Islami.
Agama Islam disebut juga sebagai agama samawi karena merupakan agama yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Muhammad Saw. sebagai jalan hidup untuk meraih kebahagiaan. Agama Islam dipelajari dengan tujuan untuk mengetahui, memahami, menghayati, dan mengamalkan (berlaku khusus bagi umat Islam saja, termasuk orang yang masih awam), serta sebagai objek penelitian (berlaku umum bagi siapa saja, termasuk sarjana-sarjana bukan Islam).
Proses interaksi Islam dengan budaya dapat terjadi dalam dua kemungkinan, yaitu Islam yang mewarnai, mengubah, mengolah, dan memperbarui budaya, atau justru Islam yang diwarnai oleh kebudayaan. Adanya keterkaitan antara Islam dan budaya ini merupakan suatu akulturasi, asimilasi, dan atau sintesis dalam lingkup budaya dan agama:
a. Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. Contohnya: Masjid Demak, yang menggunakan punden berundak merupakan suatu budaya Hindu yang berkulturasi dengan Islam.
b. Asimilasi adalah bercampurnya dua kebudayaan baru. Contohnya: kebudayaan tahlilan.
c. Sintesis adalah bercampurnya dua kebudayaan yang berakibat pada terbentuknya sebuah kebudayaan baru yang jauh berbeda dengan kebudayaan lama.
Agama sebagai budaya dapat diihat pula sebagai mekanisme kontrol, karena agama adalah pranata dan gejala sosial yang berfungsi sebagai kontrol terhadap berbagai institusi yang ada. Dalam hal kebudayaan dan peradaban, umat Islam dikenal berpegang pada kaidah:
المحُاَفَظَةُ عَلَى القَدِيْمِ الصَالِحِ وَالأَخْذُ باِلجَدِيْدِ الأَصْلَحِ
“Memelihara hal-hal lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.”
F. Pendekatan Kebudayaan Dalam Kajian Agama
Penggunaan pendekatan kebudayaan dalam studi Islam memiliki banyak kelebihan dengan hanya menggunakan pendekatan teologis dan formatif. Pendekatan yang digunakan untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan keagamaan yang dimiliki masyarakat sesuai dengan ajaran yang benar tanpa harus menimbulkan gejolak. Berikut ciri fundamental cara kerja pendekatan antropologi terhadap agama, antara lain:
a. Bercorak descriptive, yang diawali dari kerja lapangan yang berhubungan dengan orang, masyarakat, kelompok setempat yang diamati dan diobservasi dalam jangka waktu yang lama dan mendalam. Cara melakukannya yaitu hidup bersama masyarakat yang diteliti, mengikuti ritme dan pola hidup sehari-hari mereka dalam waktu yang cukup lama (berhari-hari, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun). Hal ini dilakukan jika ingin mendapatkan hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
b. Local Practice, yaitu praktik konkret dan nyata di lapangan yang dilakukan sebagai agenda sehari-hari, mingguan, bulanan ataupun tahunan, lebih-lebih saat manusia melewati peristiwa- peristiwa penting dalam menjalani kehidupan.
c. Connections Across Social Domains, antropologi selalu mencari keterhubungan dan keterkaitan antara berbagai domain kehidupan secara lebih utuh, bagaimana hubungan antar wilayah ekonomi, sosial, agama, budaya, dan politik.
d. Comparative, studi dan pendekatan antropologi memerlukan perbandingan dari berbagai tradisi, sosial, budaya, dan agama- agama. Bukan sekadar untuk mencari kesamaan dan perbedaan, tetapi juga pandangan dan memperdalam bobot kajian.
G. Model-Model Penelitian Agama Sebagai Produk Budaya
Model-model penelitian keagamaan disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan penelitian hidup keagamaan.Pengumpulan data dan metode yang digunakan antara lain:
a. Analisis Sejarah :Dalam hal ini sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain. Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang diturunkan melalui Nabinya yaitu Nabi Muhammad SAW berdasarkan kitab sucinya yaitu Al-Qur`an yang ditulis dalam bahasa Arab.
b. Analisis Lintas Budaya :Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat dari definisi ilmu antropologi sendiri secara sederhana bahwa antropologi mengkaji kebudayaan manusia. Karena dalam segi antropologi, kita dapat memilah-milah mana bagian agama Islam yang merupakan ajaran murni dan mana ajaran Islam yang bercorak lokal budaya setempat.
c. Eksperimen :Penelitian yang menggunakan eksperimen sedikit sulit dilakukan. Namun dalam beberapa hal, eksperimen dapat dilakukan dalam penelitian agama. Misalnya, untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa model penelitian agama.
d. Observasi Partisipatif :Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks religius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang diobservasi.
e. Riset Survei dan Analisis Statistik :Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan sampel dari suatu populasi.
f. Analisis Isi :Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema agama berupa tulisan, buku-buku khotbah, doktrin maupun deklarasi teks dan lainnya. Misalnya, sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran kelompok tersebut.
H. Agama Sebagai Obyek Penelitian
Dari sudut ini mungkin dapat dibedakan ke dalam tiga kategori agama sebagai fenomena yang menjadi subyek materi penelitian, yaitu :
a. Agama sebagai doktrin. Dalam penelitian agama sebagai doktrin, studi yang banyak dilakukan adalah bercorak sejarah intelektual atau sejarah pemikiran dan biografi tokoh agama. Teks-teks keagamaan baik yang wahyu maupun hasil ijtihad/ renungan, tradisi serta catatan sejarah merupakan bahan-bahan utama yang digali. Maka di samping filologi dan kritik teks serta ilmu filsafat maka sejarah merupakan disiplin yang memiliki peranan yang sangat penting.
b. Struktur dan dinamika masyarakat agama. Agama kata seorang ahli adalah landasan dari terbentuknya suatu “komunitas kognitif”. Artinya agama merupakan awal dari terbentuknya suatu komunitas atau kesatuan hidup yang diikat oleh keyakinan hidup dan kebenaran hakiki yang sama yang memungkinkan berlakunya suatu patokan pengetahuan yang sama pula. Hanya dalam komunitas kognitif Islam bahwa Tuhan mutlak satu merupakan pengetahuan yang benar.
c. Corak kajian atau penelitian dalam kategori ke dua ini dihuni oleh disiplin-disiplin ilmu sosial – sosiologi, antropologi, sejarah dan lainnya.
Sikap masyarakat pemeluk terhadap doktrin. Berusaha mengungkap sikap anggota masyarakat terhadap agama yang dianutnya. Jika kategori pertama mempersoalkan substansi ajaran agama yang dianutnya dengan segala refleksi pemikiran terhadap ajaran, sedangkan kategori kedua meninjau agama dalam kehidupan sosial dan dinamika sejarah, maka kategori ketiga adalah berusaha untuk mengetahui simbol-simbol dan ajaran agama.
I. Penelitian Agama Dan Penelitian Keagamaan
Penelitian agama (research on religious) lebih ditekankan pada aspek pemikiran (thought) dan interaksi sosial. Sedangkan pada aspek interaksi sosial, yakni penelitian keagamaan sebagai produk interaksi sosial, menggunakan pendekatan sosiologi, antropologi, historia atau sejarah sosial yang biasa berlaku dan sebagainya. Untuk penelitian agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang pernah merintisnya. Sedangkan untuk penelitian keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat metodologi penelitian tersendiri.
1.3. PENUTUP
1.3.1. Kesimpulan
Budaya dan agama merupakan sesuatu yang berbeda namun dapat saling mempengaruhi sehingga muncul kebudayaan baru atau percampuran kebudayaan. Keberadaan sebuah agama akan sangat dipengaruhi dan mempengaruhi pengamalan sebuah agama yang bersangkutan. Dan sebaliknya, sebuah kebudayaan akan sangat dipengaruhi oleh keyakinan dari masyarakat di mana kebudayaan itu berkembang.
Ajaran agama tertentu dapat diteliti sejauh mana keterkaitan ajaran etikanya dengan corak pandangan hidup yang memberi dorongan yang kuat untuk memperoleh derajat kesejahteraan hidup yang optimal (ekonomi). Studi Islam dari sisi doktrinal adalah apa yang kemudian dipelajari dari sumber ajaran Islam itu.
Agama dan budaya memiliki kaitan, akumulasi dari akulturasi budaya inilah yang pada akhirnya melahirkan budaya Islam sebagai kebudayaan baru yang ada dan menyatu dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian, perlu dipahami bahwa akulturasi bukanlah integrasi budaya atau sinkretisme meskipun dalam batas tertentu. Agama adalah pengendali, pemberi arah, dan sekaligus merupakan sumber nilai-nilai budaya dalam pengembangan dan perkembangan cultural.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, kebudayaan memiliki pendekatan dalam mengkaji agama. Serta berkembanglah model-model penelitian agama sebagai produksi budaya seperti, analisis sejarah, analisis lintas budaya, eksperimen, observasi partisipatif, riset survei dan analisis statistik, yang terakhir adalah analisis isi.
1.3.2. Saran
Dengan adanya penelitian mengenai agama dan kebudayaan semoga dapat memberikan perkembangan baru dan bisa menemukan relevansi di setiap zamannya. Apalagi di dalam agama banyak hal yang bisa dikaji, baik tentang suatu permasalahan dan hukum.
1.4. DAFTAR PUSTAKA
Arif, Muhammad. (2017). Studi Islam dalam Dinamika Global. Kediri: STAIN Kediri Press.
Komentar
Posting Komentar