Kupu-kupu yang Sama
Lonceng pukul tujuh kembali berbunyi,
menandakan jam tujuh pagi telah tiba kembali. Sebenarnya suara lonceng itu
terdengar samar-samar karena dari sekolah SD di seberang sana. Tapi entah
mengapa, suara khasnya menjadi kesan tersendiri bagiku.
“Permisi, sebentar lagi mau diantar sarapan
pagi. Benar dengan nona Cinda?”
“Iya, Bu.” Jawabku
“Apa nona perlu bantuan?”
“Tidak, saya masih ingin di kamar saja.”
Suster melihat diriku yang termenung di
dekat jendela kamar rumah sakit. Sebenarnya aku tidak suka dikasihani, tapi
melihat keadaanku sekarang, aku memang butuh bantuan dari orang lain. Namun
saat ini aku lebih suka menunggu sarapan pagiku terlebih dulu, daripada keluar
pagi hari seperti hari-hari sebelumnya.
“Ya sudah, saya pergi ya nona.”
“Iya Bu, terima kasih,”
“Sama-sama nona manis.”
Ibu ramah yang juga seorang suster pergi,
kini aku sendiri lagi. Termenung kembali di dekat jendela bersama kursi roda. Bau
semerbak mawar juga muncul di saat yang tepat, saat-saat bosanku mulai datang.
Aku juga mendengar kepakan sayap yang lirih, pasti dia kupu-kupu yang sama
seperti kemarin. Kupu-kupu bersayap putih yang mengajakku berbincang begitu
lama.
“Hai Nona Cinda, aku kembali. Bagaimana
keadaanmu?”
“Aku masih sama, belum baik-baik saja. Belum
bisa menerima semua hal yang terjadi padaku. Kebencian orang lain padaku membentuk
rasa dendam dan pelampiasan, sehingga aku disakiti dengan suatu hal yang begitu
kejam. Sampai orang itu ingin memb*nuhku.”
“Tapi ternyata hidupmu di dunia ini belum
berhenti nona.”
“Hidup dengan kekurangan baru,” Balasku
“Aku tahu jika nona sedang terpuruk. Nona
bertemu dengan orang jahat dan kejam dengan sifat yang tidak seperti manusia.”
Aku belum bisa menahan rasa marah, benci,
dan kecewaku pada orang itu. Orang yang telah mencelakaiku hingga membuat
kakiku tidak sempurna. Aku harus bersama kursi roda, benda mati yang lebih memiliki
sifat baik daripada manusia kejam yang masih memiliki nyawa. Untungnya
kupu-kupu yang sama bisa mengerti keadaanku, tapi tetap saja aku merasa
bersalah jika nada bicaraku terlalu tinggi padanya.
Tok…tok…tok…
“Permisi Nona, sarapan pagi saya taruh di
meja sebelah nona ya. Agar nona lebih mudah mengambilnya.” Lalu suster itu
berjalan mendekatiku, menaruh sarapan pagi di atas meja. Meja yang tepat berada
di sampingku.
“Nona, kupu-kupu teman nona indah ya. Warna
putihnya seperti mempunyai sinar.”
“Dia juga sudah menjadi teman saya sejak
saya di sini.”
“Nona, saya mungkin bukan siapa-siapa, tapi
saya harap nona jangan terus-menerus bersedih. Semoga suasana hari ini bisa
membuat nona merasa lebih baik. Ya sudah saya pergi dulu,”
Aku hanya membalas dengan senyumku dan
menganggukkan kepala. Suasana hari ini memang cukup membuat baik. Aku bertemu
kupu-kupu, mencium harum bunga, tapi apa akan ada hal lain yang membuatku
semakin senang?
“Nona, sebaiknya aku pergi dulu. Aku mau
mencari nektar-nektar bunga. Melihtamu akan sarapan, membuatku juga lapar. Sampai
jumpa…”
“Oh, iya. Hati-hati, aku selalu khawatir
dengan sayap kupu-kupu yang rapuh. Jaga dirimu baik-baik.”
“Jika waktunya aku pergi dari dunia ini,
berarti jatah kesempatan terbangku di dunia sudah habis. Tapi aku berada di
tempat lain yang lebih indah. Lagipula, kupu-kupu sepertiku akan muncul kembali
setelah aku tiada.”
“Ah, apa yang kamu katakan. Sudah, pergi
dengan hati-hati.”
Kupu-kupu mengerlingkan matanya, tanda
mengiyakan. Lalu aku sendiri lagi, mulai makan sarapan walau tidak ada selera. Aku
bersyukur, tangan ini masih berfungsi dengan baik dan aku masih bisa merasakan
rasa masakan yang ku makan. Dari hal kecil ini, rasanya aku ingin untuk memulai
hidup yang baru. Mungkin menjadi diri yang baru, ke suatu tempat yang baru, dan
mulai menerima diriku sendiri. Tapi memang, untuk lupa pada hal yang membuatku
sangat sakit sangatlah tidak mudah.
Komentar
Posting Komentar