Pak Marah
Gelontang… gelontang… gelontang
“Emang dasar ayam, teras udah bersih malah
buang kotoran di situ.” Suara bernada tinggi dari seorang Pak Marah yang
marah-marah kepada ayam miliknya sendiri.
Tak menunggu lama dari omelannya, ia
langsung berjalan diringi raut muka kesal mengambil panci gosong yang ia lempar
tadi.
“Monggo Pak Marah”
Tak disapanya kembali orang ramah yang
sudah tulus mengeluarkan tenaga untuk berbicara dengan orang seperti Pak Marah.
Semoga saja ketulusannya itu tidak membuat hatinya bergumam.
Sesuai namanya, Pak Marah, pria yang sudah
bapak-bapak, berkumis tebal, beralis tebal, berambut hitam, tapi ada uban di
ujung rambutnya, wajah yang terlihat galak, senyumannya seperti terpaksa,
suaranya menggelegar, cukup keras kepala, ucapannya angkuh, dan hal baiknya
cukup pekerja keras. Sawah yang dimilikinya selalu ia jenguk dengan senang
hati, halaman rumahnya juga seperti taman terawat rapi, kucing hitam legam
setia di rumahnya tanpa pernah kelaparan, namun memang sedikit kejam dengan
ayam-ayamnya.
“Pantes, pakannya habis.”
“Pak Marah, dikurung aja itu ayamnya,
daripada pancinya sampean yang rusak.” Teriak tetangga dari rumahnya sendiri.
“Rusak juga biarin, udah gosong begitu,
bisa beli lagi.” Jawab Pak Marah ringkas,
Memang begitu mudah untuk orang ber-uang
seperti Pak Marah membeli barang baru, apalagi hanya sekedar panci yang
ukurannya sedang.
“Udin, mau beliin pakan ayam ndak?” Tak
disangka, Pak Marah menyuruh udin, pemuda pengangguran yang peduli dengan panci
gosong tadi.
Udin berpikir, karena wajahnya seperti
orang sedang berpikir, lalu dia menjawab “Mau sih pak, tapi saya butuh upah,”
Kalimat yang juga strategi Udin supaya bisa mendapat uang tanpa bekerja terlalu
keras.
Pak Marah diam, ia berjalan menuju rumah
Udin. Sampai di depan pemuda yang belum tentu sudah mandi pagi, Pak Marah
merogoh saku celananya.
“Ini, dua puluh ribu. Lima ribu untuk pakan
ayam. Sisanya buat kamu.”
Udin diam, Pak Marah diam, sejenak suasana
disengaja hening oleh pikiran Udin, “Oke Pak Marah, tapi masa pakan ayam cuma
lima ribu? Emangnya kenyang?”
“Ndak perlu tanya, ayam saya itu gak rakus
kayak kamu. Sekarang kamu beli sana.”
“Iya, iya Pak Marah. Jenengan itu sukanya
marah-marah persis kayak nama KTP-nya.” Ucap Udin spontan, “Dalam hitungan
ke-tiga saya akan beli pakan ayamnya, satu, dua, tigaa…” Lanjut Udin, berlari
dia.
Pak Marah sedikit sabar, ia kembali ke
halaman rumah mencabuti rumput yang menurutnya menganggu pemandangan.
“Pak Marah, bersih-bersih ya Pak.” Sapa
Maklum yang membawa ember dan alat pancing,
“La menurut kamu saya ngapain? Ndak
ngelihat to?”
“Saya pikir lagi masak air Pak, ya udah
saya mau berangkat mancing dulu,”
“Ya sudah, saya juga gak nanya,”
Maklum pergi saja, wajahnya sepat melihat
Pak Marah yang tidak bisa disapa. Setelah sepuluh langkah dari keberadaan Pak
Marah tadi, dia baru berkata, “Orang kok bisa gitu, keunikannya sulit ditiru
sama diriku ini,” Nyatanya Maklum tidak memaklumi.
Pak Marah masih lanjut saja, memang
kegiatan bersih-bersih itu mengasikkan baginya. Tapi hati Pak Marah
bertanya-tanya tentang Udin, apa benar dia akan membawa pakan ayam dan datang
dengan cepat atau tidak. Keikhlasannya memberi upah Udin juga sedikit goyah,
harusnya ia saja yang beli pakan sendiri. Tidak perlu menyuruh pemuda seperti
Udin.
Tiga puluh menit berlalu, kini Pak Marah
sudah berdiri di bawah pohon sawo miliknya. Ia menghindari panas matahari yang
semakin terik di jam sepuluh ini. Ayam Pak Marah juga lumayan cerewet sambil
mematuk-matuk daun bunga sedap malam.
“Kemana bocah itu, sudah di kasih uang
cuma-cuma, tugas enteng,” Pak Marah hanya berkata seperti itu saja, tidak
menghina dengan kata lain yang lebih kasar.
Wajahnya kesal, matanya melirik kesana dan
kemari, mencari wujud pemuda pengangguran yang belum mandi pagi dan sudah ia suruh beli pakan ayam.
“Pak Maraahhh,” Teriak dengan riang Udin
dari kejauhan. Tangannya membawa kresek berisi pakan ayam. Wajah Udin terlihat
ceria, belum tahu bagaimana perasaan Pak Marah menunggunya sejak tadi.
Udin sudah di hadapan Pak Marah, dengan
senyumannya yang tulus ia memberikan kresek berisi pakan ayam pada Pak Marah
yang berteduh di bawah pohon sawo. Untungnya Pak Marah masih mau menerima
kresek itu.
“Dari mana kamu?” Nada tanya yang menaham
Marah,
“Oh, sarapan dulu. Nasi kuning enam ribu
dan es campur benar-benar enak. Sangat recommended untuk Pak Marah untuk
meredam amarah.”
“Sudah bicaranya? Pulang sana!”
“Oh,iya dong. Kan tugas saya sudah
selesai.” Udin berjalan pulang dengan santainya. Ia bersenandung bahagia karena
merasa kenyang. Sementara itu, Pak Marah melirik ke arah Udin yang menurutnya
terlalu tidak menyadari tanggung jawab kecil.
“Pak Marah, terima kasih yaa. Saya bisa
sarapan, habis ini saya mau nonton TV.” Teriak lagi si Udin kegirangan.
Pak Marah hanya diam dengan matanya yang
masih melirik. Strategi sederhana untuk meredam amarahnya yang Pak Marah bisa,
diam, diam, dan diam tentu masih bernafas.
Pak Marah lalu memanggil-manggil
ayam-ayamnya yang sudah kuthuk itu untuk makan. Akhirnya, ia tak perlu memasang
suara jutek. Namun Pak Marah masih keheranan dengan Udin, bagaimana dia tidak
tetap menjadi Pak Marah jika memiliki tetangga seperti Udin.
“Setidaknya, pemuda itu masih tahu terima
kasih.”
Komentar
Posting Komentar